Reformasiaktual.com//JAKARTA-Ketua Dewan Pembina Pengurus Pusat (PP) Padepokan Kosgoro 57, M. Ridwan Hisjam mengatakan, ziarah di makam para pahlawan ini tentunya untuk mengingatkan kembali khazanah keilmuan tentang jasa-jasa mereka dalam ikut serta membangun bangsa ini.
M.Ridwan Hisjam mengungkapkan,” Ziarah ini mengingatkan kembali kepada kita tentang semangat kebangsaan yang dimiliki oleh para pahlawan kita di masa lampau. Mereka berani mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk agama dan bangsa. Ini yang harus selalu kita contoh sebagai generasi penerusnya,” tutur M. Ridwan di Makam Pangeran Diponegoro belum lama ini kepada wartawan Jumat (19/11/2022) di Jakarta.
M.Ridwan Hisjam menambahkan,Sejarah mencatat, Pangeran Diponegoro atau Pangeran Harya Dipanegara ini telah berjibaku memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada periode 1825-1830 melawan Hindia Belanda.Kini, perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia masih dikenang dan diilhami tauladannya bagi masyarakat Indonesia.
Ketua Dewan Pembina Pengurus Pusat (PP) Padepokan Kosgoro 57, M. Ridwan Hisjam mengungkapkan,”Pangeran Diponegoro memiliki nama kecil yakni Bendara Raden Mas Mustahar.
Ia merupakan putra Gusti Raden Mas Suraja (Sultan Hamekubuwana III), raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan RA Mangkorowati.
Dalam buku Sejarah Singkat Diponegoro (2019) karya Wardiman Djojonegoro, Bendara Raden Mas Mustahar (7) dipindah dari Keputren (tempat kaum perempuan dan para garwa raja) di dalam keraton menuju Tegalrejo,
“ujarnya.
Pangeran Diponegoro dibimbing oleh pejuang wanita berpengalaman, taat beragama, serta berkemauan baja.
M.Ridwan Hisjam memaparkan,”Ketika berusia 18 tahun, nama Bendara Raden Mas Mustahar berubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.Pada masa itu, Pangeran Diponegoro mendapatkan pendidikan kesastraan Islam-Jawa dan menjalani pengajaran bergaya pesantren lebih formal tentang Al Quran dan hadis yang didapat dari ulama yang berkunjung ke Tegalrejo.Beranjak
dewasa, meski merupakan keturunan kerjaan, ia justru menolak permintaan ayahnya agar ia menjadi raja,disebutkan bahwa lahirnya Pangeran Diponegoro telah diramalkan akan mendatangkan kerusakan yang lebih hebat pada pihak Belanda,”tegas M.Ridwan Hisjam.
Hal ini terealisasi pada 1825 di mana Perang Jawa terjadi.Adapun perang itu bermula dari keputusan dan tindakan Belanda yang memasang patok-patok di atas tanah milik Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo.
Pematokan tersebut juga tidak pernah mendapat pemberitahuan kepada Pangeran Diponegoro.
Ketua Dewan Pembina Pengurus Pusat Padepokan Kosgoro 57 M.Ridwan Hisjam menegaskan,”Saat itu, Belanda akan membuat jalan raya yang melintas di sebelah timur Tegalrejo, di mana pematokan itu meresahkan masyarakat.
Keresahan masyarakat juga diperparah dengan adanya pajak tinggi, sikap tidak menghargai adat istiadat, dan eksploitasi berlebih dari Belanda.
Akhirnya, perselisihan pun terjadi dan meluas hingga menjadi peperangan yang berlangsung selama lima tahun lamanya,”katanya.
Perang ini berlangsung di sebagian Pulau Jawa, dengan lokasi Yogyakarta di pantai selatan hingga perbatasan Banyumas di bagian barat, dan Magelang di utara.
Pada 1827, Pangeran Diponegoro terjepit karena Belanda menyerang dengan 23.000 pasukan.
Masih dari sumber yang sama (9/12/2019), pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock berhasil mendesak Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1830.
“Saat itu, Belanda meminta agar Pangeran Diponegoro menghentikan perang, namun permintaan itu ditolak,Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, Semarang.
,”pungkasya.
Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwana III. Sejak kecil ia diasuh oleh sang eyang. Ia diajarkan berbagai macam ilmu, termasuk ilmu agama.
(R.Bambang.SS)