Reformasiaktual.com // Bukittinggi – Pemerintahan Kota (Pemko) Bukittinggi mencatat sebesar Rp11 miliar lebih pendapatan asli daerah (PAD), yang bersumber dari pasar belum masuk ke kas daerah akibat tunggakkan belum dibayarkan oleh sejumlah pedagang yang ada di kota itu.
“Tunggakkan sejumlah toko paling dominan tersebut berada di Pasar Aur Kuning. Tunggakan itu dari tahun 2019, 2020 dan 2021,” ujar Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan, Nauli di Bukittinggi, Kamis (14 Juli 2022).
Kata dia, pihaknya saat ini sedang membuat Surat Peringatan (SP) 1, 2 dan 3 terkait tunggakkan yang terjadi dari tahun-tahun sebelumnya tersebut.
“Kita anderlan bahwa tunggakkan itu bukan kinerja ambo (saya, red) dan bukan juga kinerja pemerintahan saat ini. Tapi hutang-hutang dari dulu,” paparnya.
Menurut Nauli, mengenai pasar atas juga belum dapat dipunggut apakah betuknya itu retribusi atau sewa, akibat regulasi belum ada.
“Terlepas dari sorotan DPRD dan segala macamnya. Hal ini saya rasa tidak hari ini saja, dari dulu Pasar Atas sebelum dihibahkan dan setelah dihibahkan selalu jadi sorotan,” paparnya.
“Jadi gini, kadang ketika kita tidak di bidang ini (pasa, red), saya ini baru, ketika saya di aset dulu dan Bappeda dulu, memang sangat gampang men justice, yang mengatakan dinas pasar gini-gini gampang. Cuma ketika kita masuk ke sistem itu tidak semudah itu,” ucapnya.
Menurut Nauli, ketika membuat suatu produk hukum misalnya, itu harus ke bagian hukum kenapa tak ke bagian hukum ditanya bagaimana usaha membuat produk hukum.
“Bagaimana pun ujung-ujungnya harus ada satu produk hukum yang kita pakai untuk memungut sewa di Pasar Atas. Yang berwenang mengeluarkan produk hukum tentu bagian hukum dan HAM. Tak saya sendiri, ndak saya. Saya kini selaku Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan yang membidangi teknis kegiatan,” sebutnya.
“Bagaimanapun, kita punya bagian hukum di atas itu, punya Inspektorat selaku Sistem Pengendali Interen Pemerintahan (SPIP). Jadi ini bukan kerja saya one manshow, bukan gitu,” tukasnya.
Manurut dia, pihaknya memperhatikan peraturan menteri perdagangan No.21 tahun 2021, dan memperhatikan UU Cipta Kerja, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
“Kami bukan lembaga independen seperti swasta, sewa Rp1 juta per bulan bayar, ndak mau keluar, ndak bisa seperti itu. Sama-sama kita ketahui Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan Pasar belum diundangkan dari tahun 2019,” ungkapnya.
“Dari tahun 2019 sampai hari ini tahun 2022, yang baru saya paraf sebentar ini Ranperda Pasar Rakyat yang akan difasilitasi oleh Bagian Hukum bersama DPRD ke Provinsi,” ungkapnya.
“Jadi persoalannya — belum dapat dipunggut retribusi atau sewa di Pasar Atas — bukan saya aja. Tolong lah lihat ini sebagai sistem pemerintahan saling terkoneksi satu sama lainnya. DPRD tidak boleh berbicara seolah-olah itu kesalahan pemerintah, karena kami melahirkan produk hukum itu kan bersama-bersama DPRD juga,” imbuhnya.
(Adju)