![](https://reformasiaktual.com/wp-content/uploads/2025/02/1000394956.jpg)
Reformasiaktual.com //KOTA BANDUNG- 31 Januari 2025
Yayasan Kebudayaan Rancage kembali menggelar diskusi kebudayaan selama dua hari (30-31 Januari 2025) di Jalan Garut, membahas masa depan sastra Sunda dan upaya inovatif untuk meningkatkan minat pembaca di kalangan generasi muda.
Dalam diskusi yang melibatkan para pegiat sastra dan akademisi, muncul kesadaran bahwa minat terhadap sastra daerah, khususnya Sunda, masih bergantung pada kewajiban akademik dibandingkan kesadaran pribadi. Ketua Yayasan Rancage, Bu Eti, menekankan pentingnya menemukan formula baru agar sastra Sunda tidak sekadar dibaca karena tugas dosen, tetapi juga karena kesadaran akan nilai budayanya.
Salah satu langkah awal yang diusulkan adalah membuka akses lebih luas ke komunitas non-sastra agar tertarik mengikuti kegiatan Rancage, sebelum nantinya diarahkan untuk menikmati dan mengapresiasi karya-karya sastra Sunda. Pendekatan ini diharapkan menjadi solusi awal sebelum adanya riset mendalam terkait pola konsumsi sastra di era digital.
Sejarah mencatat bahwa upaya pelestarian sastra Sunda telah berjalan cukup lama. Beberapa agenda besar seperti Konferensi Internasional Budaya Sunda (2001, 2011, 2021) dan Kongres Bahasa Daerah Nusantara telah menjadi wadah diskusi bersama untuk menjaga eksistensi bahasa dan sastra daerah. Yayasan Rancage sendiri sejak 1989 rutin memberikan Hadiah Sastra Rancage, serta Hadiah Hardjapamekas bagi guru bahasa Sunda yang kreatif dalam pengajaran.
Namun, di era digital, tantangan baru muncul. Meskipun kuantitas penulisan meningkat berkat media sosial, kualitas sastra masih menjadi pekerjaan rumah. Fenomena penulis yang menerbitkan buku secara mandiri tanpa proses kurasi turut menjadi perhatian. Terlebih, ketatnya regulasi ISBN dalam beberapa tahun terakhir membuat penerbitan buku sastra semakin sulit.
Sebagai langkah inovatif, Yayasan Rancage kini tengah menyusun Rancage Pedia, sebuah platform digital mirip Wikipedia yang tidak hanya berfokus pada sastra Sunda, tetapi juga merangkum sastra dari daerah lain yang pernah mendapat penghargaan Rancage.
Menariknya, di Bali, regenerasi penulis sastra daerah tampak lebih hidup, dengan banyak penulis muda yang aktif berkarya. Diduga, hal ini dipengaruhi oleh peran penyuluh bahasa Bali yang dibiayai pemerintah, serta eratnya keterkaitan budaya dengan pariwisata dan agama. Sementara itu, sastra Sunda masih didominasi generasi yang lebih tua.
Diskusi ini menggarisbawahi perlunya kebijakan konkret, baik dari pemerintah maupun komunitas budaya, untuk membangun kesadaran membaca sastra Sunda di luar lingkup akademik. Apakah melalui digitalisasi, revitalisasi pendidikan sastra di sekolah, atau model insentif lainnya, satu hal yang pasti: sastra daerah harus tetap hidup agar identitas budaya tidak tergerus oleh zaman.
Undang.S