OKU Timur – Dugaan pungutan liar (pungli) di SMA Negeri 2 Martapura semakin menuai sorotan. Tak hanya mewajibkan siswa kelas 12 membayar Rp175.000 per orang dengan dalih membayar gaji guru honorer triwulan (TW 4) yang belum cair, pihak sekolah juga diduga memotong dana bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) milik siswa.
Seorang siswa penerima PIP mengaku bahwa setelah pencairan dana sebesar Rp1.800.000, pihak sekolah langsung memotong Rp175.000. Lebih mencengangkan lagi, buku tabungan siswa tersebut juga diambil oleh pihak sekolah, sehingga siswa maupun orang tua tidak bisa mengakses sisa dana yang seharusnya menjadi hak mereka.
Kepala Sekolah Rominton berdalih bahwa pungutan ini telah disepakati oleh komite sekolah dan wali murid. Ia menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari konsep “sekolah berkeadilan”, yang memberi ruang bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam pendidikan, termasuk membayar kekurangan dana sekolah.
Namun, wali murid justru mempertanyakan alasan sekolah menarik iuran, apalagi dengan cara memotong langsung dana PIP siswa.
“PIP itu bantuan pemerintah untuk anak kami, bukan untuk bayar operasional sekolah! Kalau pemerintah belum membayar gaji guru honorer, kenapa malah siswa yang dipaksa menanggungnya?” ujar salah satu wali murid yang enggan disebut namanya.
Seorang siswa penerima PIP juga mengaku keberatan dengan kebijakan ini.
“Uang bantuan itu kan buat kebutuhan sekolah saya, bukan buat bayar gaji guru. Tapi pas cair, langsung dipotong, dan buku tabungan juga diambil. Kami jadi tidak tahu sisa uangnya masih ada atau tidak,” keluhnya.
Dugaan pungli ini tidak hanya menyasar siswa kelas 12. Menurut informasi yang diperoleh, pungutan ini juga diberlakukan untuk siswa kelas 10 dan 11. Kepala sekolah mengakui bahwa pungutan ini telah terealisasi 50% dari total sekitar 600 siswa.
Jika dihitung secara keseluruhan, jumlah dana yang sudah dikumpulkan sekolah berpotensi melebihi Rp100 juta. Namun, pertanyaan besarnya: Apakah dana sebesar itu benar-benar digunakan untuk membayar gaji guru honorer?
Upaya konfirmasi kepada pihak sekolah menemui hambatan. Saat wartawan mencoba meminta klarifikasi, petugas keamanan sekolah justru mengatakan bahwa hanya Polisi, TNI, dan Kapolri yang bisa menemui kepala sekolah.
Selain itu, pihak sekolah awalnya menyatakan bahwa Kepala Sekolah Rominton sedang dinas luar. Namun, ketika wartawan berhasil masuk ke lingkungan sekolah, Rominton ternyata ada di tempat, menimbulkan dugaan bahwa pihak sekolah sengaja menghindari konfirmasi.
Kasus ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan, terutama di sekolah negeri. Jika benar terjadi pungutan liar, maka pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas agar tidak ada lagi penyalahgunaan dana pendidikan.
Hingga berita ini diterbitkan, Dinas Pendidikan Sumatera Selatan belum memberikan tanggapan resmi terkait kasus ini.
Jika dugaan pungli ini benar, maka ini bukan hanya masalah kebijakan sekolah, tetapi juga pelanggaran hak siswa dan penyalahgunaan dana pendidikan. Pemerintah harus segera turun tangan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di sekolah negeri lainnya!. (Rilis Krisna)