Bandar Lampung//reformasiaktual.com–Ada sebuah anekdot yang saya kira semacam sindiran keras bagi sebagian pemimpin sekarang. Anekdot tersebut yaitu berbunyi: pemimpin masa lalu itu dipenjara dulu, baru jadi pemimpin. Sementara sekarang, menjadi pemimpin dulu, baru dipenjara. Artinya apa?
Dulu, para tokoh bangsa memang berjuang mati-matian, berkorban harta, raga, dan bahkan jiwanya untuk kemerdekaan bangsanya sehingga penjajah menjebloskannya ke sel tahanan. Masa mudanya dihabiskan dalam perjuangan dan pengabdian penuh untuk bangsa yang dicintainya.
Beberapa tokoh bangsa yang sempat mencicipi jeruji besi di antaranya Soekarno, Moh Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan masih banyak yang lain lagi tentunya.
Semangat juangnya berapi-api untuk meraih kemerdekaan.Kepentingan bangsa menjadi orientasi utama.Ini berbeda jauh dengan sebagian pemimpin saat ini.
Mereka justru memanfaatkan posisi dan kedudukannya untuk mengeruk kekayaan negara.Tak terhitung jumlah koruptor yang menjadi narapidana.
Rasa-rasanya, sangat tidak cocok, oknum-oknum semacam itu dikatakan sebagai pemimpin.Sebab, yang ada dalam hati dan pikirannya seolah hanya untuk mempertebal kantong pribadi.
Segala jurus dan strategi digunakan untuk mengelabui rakyat. Seakan-akan kita semua bodoh dan tak mengamati tingkah laku pejabat publik semacam itu.
Bukannya melayani dengan sepenuh jiwa, yang ada justru bermain-main dengan kekuasaannya.
Janji-janjinya di masa kampanye sebatas pemanis untuk menipu rakyat.
Ketika sudah duduk di kursi empuk kekuasaan, semua dilupakan. Nasib rakyat diabaikan. Jangan harap mereka bisa menjadi problem solver, yang ada hanya selalu menjadi beban negara, alias problem maker.
Padahal, rakyat membutuhkan perhatian untuk dientaskan beragam persoalannya. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial, pendidikan, dan semacamnya.
Pemimpin semacam itu sama sekali tidak menginspirasi. Jabatannya hanya digunakan untuk memenuhi hasrat duniawinya.
Tak peduli halal dan haram, tak peduli melanggar norma hukum dan norma sosial, semuanya dilabrak.
Padahal, saat ini, kita membutuhkan pemimpin yang menginspirasi.
J. Q. Adams, Presiden Amerika Serikat ke-6 (1825-1829) pernah berkata:
“Jika tindakan Anda menginspirasi orang lain untuk bermimpi lebih banyak, belajar lebih banyak, berbuat lebih banyak, dan menjadi lebih banyak, maka Anda adalah seorang pemimpin.”
Saya kira, pemimpin seperti yang dikatakan oleh Adams ini yang kita dambakan kehadirannya.
Pemimpin yang tutur kata dan perangainya menjadi teladan bagi masyarakat.
Sebab, pemimpin sejati bukan hanya mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, tapi nihil kecerdasan emosional dan spritualnya.
Pintar tapi tidak benar justru akan menjadikan bangsa dan negara ini kian bobrok.
Buktinya, banyak pejabat negara di negeri ini yang gelarnya berderet-deret alias kapasitas inteltualnya cukup mapan. Namun masih terjerat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Belum lagi yang menjadi mafia hukum yang memperjual-belikan pasal demi kepentingan diri dan golongannya. Terkait hal itu, kita perlu berhati-hati betul dalam memilah dan memilih pemimpin.
Sebab, nasib dan masa depan anak cucu kita, salah satunya ditentukan oleh kebijakan, program, dan regulasi yang ditetapkan oleh pemimpin. Jika pemimpinnya tidak amanah dan semena-mena, maka bersiap-siaplah rakyat hanya dijadikan “sapi perah” yang tak diperhatikan.
Pemimpin seperti itu, hanya bisa tunjuk sana tunjuk sini, ongkang-ongkang kaki, enggan berbaur dengan rakyat kecil, dan maunya hanya dilayani. Padahal, pemimpin sendiri sebetulnya adalah pelayan rakyat.
Kita rindu seorang pemimpin yang mampu mengatasi kerusakan yang terjadi, serta mampu membawa keadilan dan kemakmuran dengan menjunjung tinggi keilmuan.
Dalam konteks realitas pemimpin di Indonesia saat ini, hemat saya, memang sudah sewajarnya menjadikan rakyat tumpuan dari segala perhatiannya.
Bersedia memberikan pelayanan terbaik untuk kemaslahatan rakyat. Pelayanan yang memang bersumber dari kesadaran dalam hati bahwa tahtanya tersebut adalah amanah yang wajib ditunaikan.
Karena jujur saja, kita tidak membutuhkan pelayanan yang hanya lips service. Manis di mulut tapi tidak ditepati. Pandai bersilat lidah dan beretorika tapi nol bukti.
Kita ingin hadir di tengah-tengah kita seorang pemimpin yang memang tulus mengayomi dan mendharmabaktikan dirinya demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Kita membutuhkan pemimpin yang cerdas, berkarakter, visioner, nasionalis, patriotik, dan totalitas dalam melayani. Pemimpin semacam itu biasanya menjadi panutan di tengah masyarakat, menjadi pelipur lara ketika sedang dilanda kabut duka.
Sebab, spirit optimismenya menyala-nyala dalam jiwanya. Pemimpin tersebut imannya kokoh, ilmunya luas, dan akhlaknya luhur. Kehadirannya dinanti. Ketiadaannya dirindukan.
Akhir kata, besar harapan saya, para pemimpin-pemimpin yang dipilih oleh rakyat pada pemilu tahun 2024 yang lalu, baik Pilpres,Pileg maupun Pilkada merupakan pemimpin yang berjiwa ksatria.
Bukan berjiwa bandit.
(Wahyu )
Curahan Hati dipenghujung Ramadhan 1446 H: Pinnur Selalau (Pemred RadarCyberNusantara.Id)