LAMONGAN//reformasiaktual.com- Jumat, 23 Mei 2025. Laut utara Lamongan kembali bergemuruh, bukan oleh gelombang, melainkan oleh ketegangan hukum yang kian menebal di atas tanah seluas hampir 30 hektare yang menjadi medan perebutan dua raksasa industri galangan kapal nasional: PT. Dok Pantai Lamongan (PT. DPL) dan PT. Lamongan Marine Industry (PT. LMI).
Pada hari ini, Jumat (23/5), Pengadilan Negeri Lamongan secara resmi melaksanakan konstatering ulang, sebuah langkah monumental yang menandai kedekatan pada klimaks akhir dari saga hukum yang telah menyita perhatian publik dan dunia maritim tanah air.
Dengan pengawalan ketat aparat kepolisian, serta kehadiran jajaran pejabat Pemerintah Daerah dan pejabat agraria dari Kantor Pertanahan (BPN) Lamongan, proses konstatering ulang ini berlangsung intens sejak pagi. Pencocokan ulang batas-batas bidang tanah, bangunan, serta keabsahan dokumen hukum, dilakukan secara cermat dan menyeluruh, membuktikan keseriusan negara dalam menuntaskan konflik agraria berskala besar ini.
Hujan yang mengguyur kawasan Paciran tak menggoyahkan langkah aparat pengadilan. Dengan berbekal payung dan sepatu berlumpur, tim konstatering tetap turun ke lokasi, membuktikan bahwa ketika hukum memanggil, tidak ada cuaca yang cukup kuat untuk menghentikan tegaknya keadilan.
Konstatering ulang ini adalah lanjutan dari rangkaian pengukuran lapangan yang telah dilaksanakan oleh tim BPN Lamongan selama tiga hari berturut-turut, sejak Selasa (20/5) hingga Kamis (22/5). Proses tersebut dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian luar biasa dari pihak pemohon eksekusi, PT. DPL, yang ingin memastikan setiap titik batas lahan sesuai dengan lima Sertifikat Hak Guna Bangunan yang mereka kantongi, serta Grosse Risalah Lelang Nomor 3202/10.01/2024-01 tertanggal 19 Desember 2024—dokumen sah yang memiliki kekuatan hukum setara putusan pengadilan inkracht.
“HARI INI KAMI BUKAN SEKEDAR MELIHAT BATAS TANAH – KAMI MENEGASKAN KEDAULATAN HUKUM!”
Demikian pernyataan penuh semangat dari Florensa Crisbeck Huttubessy, S.H., Panitera Pengadilan Negeri Lamongan, yang kembali memimpin proses konstatering ulang tersebut.
Ia menegaskan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara hasil konstatering sebelumnya dengan yang dilakukan hari ini. “Proses ini hanya meneguhkan kembali apa yang sudah sah secara hukum dan terbukti di lapangan. Tidak ada ruang untuk tafsir liar. Negara hadir dengan seluruh instrumen hukumnya untuk menegakkan keadilan,” tegasnya dengan suara lantang di hadapan wartawan.
Sementara itu, pihak PT. LMI, yang selama ini bersikukuh mempertahankan penguasaan fisik lahan meskipun tidak lagi memiliki dasar hukum yang sah, kembali menyatakan keberatan terhadap hasil konstatering. Namun ironisnya, untuk kesekian kalinya, mereka tidak dapat menunjukkan dokumen legal otentik yang bisa menggugurkan hak PT. DPL.
“Kami menantang mereka untuk hadir dengan bukti, bukan opini. Sayangnya, hari ini pun mereka hanya datang dengan retorika,” ujar H. Ananto Haryo, S.H., M.Hum., M.M., Koordinator Tim Hukum PT. DPL dengan nada tajam.
Ananto melanjutkan, konstatering ulang ini menjadi pemungkas dari serangkaian proses hukum yang telah dijalankan secara tertib dan terbuka sejak awal.
“Dengan hasil pengukuran BPN yang sinkron dengan sertifikat kami, maka tidak ada lagi alasan untuk menunda. PN Lamongan kini memiliki semua syarat untuk mengeluarkan penetapan eksekusi pengosongan. Kami hanya menunggu aba-aba dari pengadilan. Negara harus segera bertindak!,” tegasnya
“PERTEMPURAN DI ATAS TANAH BERAKHIR DI ATAS ATURAN HUKUM”
Atmosfer di lapangan pun mencerminkan keseriusan situasi. Personel dari Polres Lamongan dan Polsek Paciran bersiaga penuh, mengamankan jalannya konstatering dari potensi gangguan. Di lokasi hadir pula Camat Paciran, Kepala Desa Kemantren, Kepala Desa Sidokelar, serta perwakilan masyarakat sekitar yang turut menyaksikan langsung jalannya proses.
PT. DPL juga secara resmi telah menyampaikan hasil pengembalian batas dari BPN sebagai bukti tambahan yang memperkuat legitimasi kepemilikan mereka atas bidang tanah yang disengketakan. Mereka juga menyatakan kesiapannya untuk segera melaksanakan pemagaran permanen setelah proses pengosongan resmi dilakukan.
Kini, sorotan tajam publik tertuju pada satu titik: ruang kerja Ketua Pengadilan Negeri Lamongan. Di tangan beliau terletak palu keputusan akhir yang akan menentukan apakah lahan seluas 293.562 meter persegi itu akan benar-benar dikembalikan kepada pemilik sahnya berdasarkan hukum, atau justru kembali tersandera oleh kepentingan dan kekuatan informal.
Satu hal yang jelas: ketika hukum telah bicara dan lapangan telah membenarkannya, tidak ada lagi tempat bagi pembangkangan. Indonesia tengah menatap kasus ini sebagai cermin: Apakah supremasi hukum benar-benar masih menjadi panglima.
Red