Pelindasan Ojol oleh Baracuda adalah Cerminan Krisis Humanisme dalam Penanganan Aksi oleh Polri

TOkoh123 Dilihat

JAKARTA – reformasiaktual.com – Mahar Muharram HAM, S.IP., M.AP
Akademisi Institut Teknologi dan Kesehatan Tri Tunas Nasional Peristiwa pelindasan seorang pengemudi ojek online (ojol) oleh kendaraan taktis Baracuda milik Polri saat berlangsungnya aksi demonstrasi di Jakarta Pusat baru-baru ini viral di media sosial bukan sekadar insiden biasa.

Dengan kejadian ini mencerminkan bahwa terjadi krisis kemanusiaan dan menegaskan tentnag pendekatan aparat dalam penanganan aksi di ruang publik masih sangat jauh dari nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Insiden ini bukan hanya menyayat hati masyarakat, tetapi juga membuka mata kita bahwa negara belum sepenuhnya berhasil menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam proses demokratis. Dalam situasi di mana masyarakat menyuarakan aspirasi mereka secara terbuka sebuah hak yang dijamin oleh konstitusi respon negara seharusnya adalah perlindungan dan fasilitasi, bukan intimidasi dan kekerasan.

Ironisnya, pelibatan kendaraan taktis seperti Baracuda di tengah tengah demonstrasi sipil menunjukkan bahwa pendekatan keamanan kita masih sangat militeristik. Hal ini mencerminkan sebagai kegagalan dalam membedakan antara penanganan kerusuhan dan penanganan aksi aspiratif. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, belum tampak adanya akuntabilitas yang jelas dari pihak kepolisian atas kejadian tersebut.

Seolah-olah insiden ini hanya dianggap sebagai “kesalahan prosedur,” bukan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan dan profesionalisme aparat.
Sebagai akademisi yang concern terhadap praktik pemerintahan dan kebijakan publik, saya melihat bahwa sudah saatnya tubuh Polri dievaluasi secara menyeluruh, khususnya dalam hal paradigma penanganan aksi massa.

Prosedur operasional standar (SOP) harus ditinjau ulang agar lebih berorientasi pada pendekatan humanis dan non-represif. Aparat harus dilatih untuk menjadi fasilitator aspirasi publik, bukan alat pemaksa yang justru mengorbankan keselamatan rakyat.
Evaluasi internal tidak cukup jika hanya dilakukan oleh institusi itu sendiri.

Harus ada keterlibatan lembaga independen, pengawasan sipil, serta kolaborasi dengan komunitas akademik untuk membangun sistem keamanan yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat. Tanpa ini, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum akan terus menurun dari tahun ketahun.

Lebih jauh ketika insiden ini juga menjadi peringatan bahwa demokrasi kita tengah diuji. Jika menyampaikan pendapat di muka umum dianggap sebagai ancaman, dan dibalas dengan tindakan kekerasan oleh negara, maka kita patut bertanya!untuk siapa negara ini dijalankan?

Pengemudi ojek online yang menjadi korban bukanlah bagian dari kelompok anarkis. Ia adalah simbol dari rakyat kecil yang mencari nafkah dan, dalam kasus ini, terjebak di antara situasi yang tidak seharusnya merenggut nyawanya. Peristiwa ini menegaskan bahwa dalam paradigma keamanan kita, kehidupan rakyat kecil masih belum menjadi prioritas.

Oleh karena itu, kita semua berharap agar menyerukan kepada semua pihak, terutama pemerintah dan institusi Polri, untuk segera melakukan introspeksi dan reformasi dalam tubuh aparat penegak hukum. Jika tidak, insiden serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi dan ketika itu tiba, harga yang harus dibayar mungkin lebih mahal lagi.

AGUS/TIM