Reformasiaktual. Com// Jakarta-
Nama AA La Nyalla Mattalitti kembali jadi sorotan. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini, kali ini disorot publik terkait dengan upayanya untuk mencopot Fadel Muhammad dari Wakil Ketua MPR RI.
Tapi upayanya itu mendapat perlawanan dari Fadel. Malah sekarang, justru terjadi arus balik. La Nyalla, malah kini terancam diberhentikan sebagai Ketua DPD RI dengan tudingan telah melanggar kode etik dan tatib DPD RI serta melanggar UU MD3.
Sosok La Nyalla ini memang kontroversial.
Saat dia terpilih jadi Ketua DPD RI, banyak pihak yang menyorotinya. Mantan anggota DPR RI Ferdinand Hutahaean, misalnya, menyinggung terpilihnya La Nyalla Mattalitti menjadi Ketua DPD RI, melalui postingan media sosialnya.
Ferdinand merasa miris ketika DPD dipimpin oleh La Nyalla. Dia lantas mengunggah cuitan Twitter pada Kamis (3/10/2019).
“Di internal DPD, La Nyalla dipilih 47 suara dari total 134 suara atau sekitar 35% suara DPD. Miris memang ketika DPD dipimpin orang yang pernah buron, pernah tersangka, kasus seperti di rimba belantara. Tapi inilah fakta bahwa anggota DPD pun senang dipimpinnya, maka terpilih,” tulis Ferdinan di akun @FerdinandHaean2.
Hal ini mengingatkan pada sejumlah kasus yang menyeret La Nyalla. Mulai dari penyebaran hoaks atau berita bohong tentang Jokowi sampai lolos dari kasus korupsi.
Tapi benarkah La Nyalla pernah buron?
Iya. Saat ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung La Nyalla memang sempat kabur ke Singapura,
Seperti diketahui, beberapa kali Kejaksaan Agung pernah menjeratnya dalam kasus dugaan korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur tahun 2011 hingga 2014.
Saat ditetapkan tersangka, La Nyalla menjabat sebagai Kepala Kadin Jawa Timur.
Dana tersebut diduga digunakan untuk membeli saham terbuka atau IPO di Bank Jatim senilai Rp 5,3 miliar.
Begitu ditetapkan sebagai tersangka, La Nyalla langsung menggunakan haknya untuk menggugat lewat praperadilan.
Ternyata, hakim tunggal memenangkan La Nyalla dan menganggap penetapan tersangka tidak sah.
Namun, Kejati Jatim tak patah arang. Pada April 2016, kejaksaan kembali mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk La Nyalla.
Sprindik baru itu ditandatangani tiga jam setelah hakim Pengadilan Negeri Surabaya membacakan hasil putusan praperadilan.
Beberapa hari kemudian, kejaksaan kembali mengeluarkan sprindik untuk La Nyalla. Kali ini, penyidik mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sebab, ada temuan transaksi mencurigakan yang mengalir ke rekening La Nyalla dan keluarganya dalam kurun 2010 hingga 2013.
Atas penetapan kembali dirinya sebagai tersangka, La Nyalla mengajukan lagi gugatan praperadilan.
Untuk kedua kali, La Nyalla memenangi gugatan yang menggugurkan status tersangkanya.
Kejati Jatim saat itu memastikan akan terus mengejar La Nyalla dan membawanya ke pengadilan.
Kepala Kejati Jatim saat itu, Maruli Hutagalung, mempersilakan kuasa hukum La Nyalla untuk kembali menggugat praperadilan status tersangka yang dikeluarkannya.
Dia menegaskan akan kembali mengeluarkan sprindik baru jika pengadilan membatalkan status tersangka mantan ketua umum PSSI itu.
“100 kali digugat praperadilan, 100 kali saya akan keluarkan sprindik baru untuk La Nyalla. Begitu seterusnya,” ucap Maruli.
Sprindik baru kembali dikeluarkan pada 30 Mei 2016. La Nyalla pun kembali berstatus tersangka.
Kasus La Nyalla akhirnya dibawa hingga persidangan dan sempat dituntut enam tahun penjara oleh jaksa.
Namun, majelis hakim PN Jakarta Pusat memutus La Nyalla bebas pada 27 Desember 2016.
Selama proses hukum, ia juga sempat dipenjara selama 7 bulan.
Putusan itu diperkuat oleh Mahkamah Agung dengan menolak kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum.
Atas putusan tersebut, banyak yang menuding bahwa hal itu bisa terjadi karena ada hubungan kekerabatan La Nyalla dengan Ketua Mahkamah Agung saat itu, yakni Hatta Ali.
Hatta Ali kepada media mengaku mengenal baik La Nyalla Mattalitti.
Hatta pun tak memungkiri bahwa La Nyalla masih punya hubungan kekerabatan dengannya.
“Memang saya punya hubungan kekeluargaan dengan dia. Dia adalah keponakan saya secara langsung,” ujar Hatta dalam wawancara dengan wartawan pada 27 Mei 2016.
Meski begitu, Hatta meminta hubungan kekerabatan itu tidak dikait-kaitkan dengan kasus hukum yang tengah membelit La Nyalla, termasuk dalam kemenangan dua kali sidang praperadilan yang diajukan pria yang juga menjabat Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia itu.
Hatta menegaskan, sebagai Ketua Mahkamah Agung, dia berusaha menempatkan diri sesuai dengan posisinya. “Saya sama sekali tidak punya pemikiran sedikit pun untuk mencampuri hal-hal yang bersifat hukum,” tutur Hatta.
Ketua Ikatan Alumni Universitas Airlangga itu mengaku tidak ingin menutup-nutupi bahwa dia masih punya hubungan kekerabatan dengan La Nyalla. “Siapa pun manusia, kalau namanya keluarga, tetap tidak bisa dipungkiri. Tapi silakan diamati. Yang penting tidak ada intervensi.”
Hatta meminta masyarakat menyerahkan proses hukum dan praperadilan La Nyalla sesuai dengan kewenangan penegak hukum. Ia sendiri enggan berkomentar mengenai kemenangan La Nyalla dalam praperadilan untuk kali kedua. “Itu sepenuhnya kewenangan hakim.”
Terkait kasus korupsi tersebut, La Nyalla divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Ia dinyatakan tidak terbukti melakukan korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada Kadin Jawa Timur sebesar Rp 1,1 miliar.
“Menyatakan terdakwa La Nyalla Mataliti tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi,” kata Ketua Majelis Hakim Sumpeno di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, 27 Desember 2016.
Hakim memutuskan La Nyalla dibebaskan dari dakwaan jaksa penuntut umum. Setelah putusan dibacakan, hakim juga memerintahkan mantan Ketua PSSI itu segera dikeluarkan dari tahanan.
Jaksa menuntut La Nyalla dengan hukuman penjara 6 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia juga wajib mengembalikan kerugian negara Rp 1,1 miliar.
Jaksa penuntut umum menyatakan La Nyalla terbukti memperkaya diri sebesar kerugian negara. Keuntungan itu didapatkan dari hasil penjualan saham Bank Jatim senilai Rp 6,4 miliar. Saham itu sebelumnya dibeli menggunakan dana hibah dengan harga Rp 5,3 miliar.
Dalam pertimbangannya, hakim menganggap bahwa kasus La Nyalla seharusnya sudah selesai di sidang praperadilan. Dalam tiga kali praperadilan, La Nyalla dinyatakan tidak bersalah.
Dalam pertimbangannya, hakim menganggap bahwa kasus La Nyalla seharusnya sudah selesai di sidang praperadilan. Dalam tiga kali praperadilan, La Nyalla dinyatakan tidak bersalah.
Sedangkan soal uang Rp 5,3 miliar, hakim meyakini bahwa uang itu merupakan dana yang dipinjam La Nyalla dan sudah dikembalikan. “Berdasarkan alat bukti yang sah dan keterangan dari dua saksi yang berkesesuaian, hakim berkeyakinan uang pinjaman Rp 5,3 miliar sudah dikembalikan,” ujar Hakim Mas’ud.
Menurut hakim, pengembalian uang pinjaman itu terbukti dengan adanya catatan kecil pada 2012, seperti yang diungkapkan pejabat Kadin Jawa Timur Nelson Sembiring dan Diar Kusuma Putra. “Diar diminta melengkapi berkas karena catatan kecil ketelisut,” ujar Mas’ud.
Adanya penyimpangan wewenang penggunaan dana hibah ini bermula dari korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur 2011-2014 sebesar Rp 48 miliar. Dalam perkara itu, kejaksaan telah memvonis Diar dan Nelson bersalah karena merugikan negara Rp 26 miliar.
( Asep Eker)