Reformasiaktual.com//MAKASSAR – Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Sulawesi Selatan, Prof Jamaluddin Jompa kembali membuat pernyataan yang dinilai kontroversial dimedia soal kasus kematian mahasiswa Fakultas Teknik (FT), Virendy saat mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) Mapala, seperti dilansir salah satu media nasional pada Sabtu, 1 April 2023 kemarin.
Jamaluddin Jompa pada keterangan persnya menyatakan,” Kasus kematian yang menimpa Virendy Marjefy Wehantouw (18) adalah musibah yang tak disangka. Apalagi kasus ini telah diambil alih pihak kepolisian sehingga seharusnya yang mesti ditanya adalah polisi, bukan Unhas yang telah berbelasungkawa dan menutup kasus Virendy.
Yang lebih menyakitkan kata orang tua korban sebab Rektor Unhas, Jamaluddin Jompa menyatakan bahwa hasil visum dinyatakan tidak ada masalah dan tidak ada indikasi perlakuan yang berlebihan terhadap almarhum Virendy. Bahkan dari hasil visum itu telah membuktikan jika tidak terjadi kesalahan mahasiswa akan kejadian itu.” Ada kesan pembelaan yang dilakukan oleh Rektor padahal ia tidak ikut pada Diksar itu.” ungkapnya.
Rektor juga menambahkan bahwa kegiatan Diksar Mapala bukanlah program Unhas melainkan UKM yang merupakan program pilihan bagi mahasiswa yang sama sekali tidak ada paksaan untuk mengikutinya. Jika ada pihak yang hendak melakukan penuntutan terhadap Unhas ataupun ingin memenjarakan mahasiswa, ia memberikan ruang yang seluas-luasnya.” ungkap James orang tua korban menitukan kalimat Rektor.
Kuasa hukum keluarga almarhum Virendy telah menyampaikan tanggapannya dengan menilai bahwa pernyataan Rektor Unhas dinilai terkesan asal bunyi dan tidak berdasar serta semakin menunjukkan betapa rendahnya empati seorang Rektor terhadap mahasiswanya.
Pengacara Keluarga Virendy, Yodi Kristanto, SH MH yang dihubungi awak media, Minggu 2 April siang tadi menegaskan,” Pernyataan yang disampaikan melalui media nasional dianggap terlalu arogan dan dinilai tidak etis bahkan terkesan hendak melepas tanggungjawab terhadap kematian Virendy.
Saat dilaksanakan proses gelar perkara di Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel, pihak Ketua Mapala 09 FT Unhas menyatakan,” Kegiatan Diksar telah memperoleh rekomendasi dari Wakil Dekan 1 FT serta dilepas secara resmi pihak Kampus. Olehnya itu, argumentasi yang menyatakan bahwa kegiatan Mapala bukan program Unhas sangat tidak berdasar dan cenderung mengindikasikan Rektor ingin cuci tangan dan melepas tanggungjawab atas kematian Virendy.
Korban mengikuti kegiatan Diksar merupakan kehendak dan keinginan sendiri dan seizin orang tua serta tidak ada paksaan adalah kesimpulan sendiri Rektor, sementara bukti yang ditemukan dilapangan, surat izin kepada orang tua mahasiswa baru diterima sehari sebelum kegiatan Diksar sehingga pernyataan Rektor dinilai sepihak mengenai pernyataan tidak ada paksaan dan dianggap berlawanan dengan bukti yang ada.” ujar Yodi Kristianto.
” Kami telah memiliki bukti yang kuat bahwa almarhum Virendy dipaksa mengikuti Diksar sehingga sangat tidak etis jika Rektor mengambil kesimpulan bahwa tidak ada kesalahan mahasiswa sementara proses hukum masih berjalan. Apalagi pihak kepolisian menemukan bukti-bukti adanya unsur pidana yang mengakibatkan kematian Virendy.” katanya.
” Unhas tidak boleh melepas tanggungjawab begitu saja terhadap mahasiswanya.” Yodi Kristianto kembali menegaskan.
“Saya membaca pernyataan Rektor dimedia seolah-olah hendak membiarkan kasus kematian ini, apalagi mahasiswanya terbukti melakukan tindak pidana dan bahkan dalam pernyataannya mempersilahkan apabila mahasiwa lainnya dipenjara.” katanya.
Tidak etis seorang pemimpin bersikap seperti itu, apalagi kegiatan ini memiliki izin dan dilepas secara resmi oleh pihak Kampus. Betapa sangat mengherankan bagi kami akan rendahnya empati seorang Rektor terhadap mahasiswanya sendiri.” tukas Yodi kepada media ini.
“Kami selaku Kuasa Hukum Keluarga Almarhum Virendy, tidak akan membiarkan pihak Unhas melepas tanggungjawab terhadap perkara ini. Apalagi kematian Virendy terbukti sebagai akibat kelalaian dan ataupun adanya unsur kesengajaan.” bebernya.
Yodi mengungkap,” Prof O.J Wehantouw telah mengabdi berpuluh-puluh tahun di Unhas, jasanya sangat tidak sedikit nilainya. Jika keluarganya diperlakukan demikian, lalu bagaimana kita berharap Rektor berlaku adil terhadap mahasiswanya yang lain.”
Sementara itu, James Wehantouw selaku orang tua korban dan sekaligus sebagai wartawan senior Harian Pedoman Rakyat Makassar ketika dimintai keterangan persnya menyesalkan pernyataan-pernyataan Rektor Jamaluddin Jompa yang dinilai tak berdasar di media detik.com. “Justru pernyataan itu semakin menambah luka dan duka yang mendalam bagi keluarga.” katanya.
Malahan menurut James, tudingan Jamaluddin Jompa dengan menyebut almarhum Virendy mempunyai penyakit bawaan adalah merupakan kesimpulan yang sangat tidak berdasar dan mengada-ada. Karena sepengetahuan keluarga, almarhum semasa hidupnya tidak sama sekali memiliki riwayat penyakit bawaan.
Selain itu, sebelum mengikuti kegiatan Diksar, yang bersangkutan sudah dua kali menjalani pemeriksaan kesehatan dan dinyatakan sehat serta dalam kondisi fit oleh dokter.
“Jujur saja, kami sebagai keluarga besar almarhum Virendy menilai semua pernyataan yang tidak mengandung kebenaran dan dilontarkan Jamaluddin Jompa termasuk pihak Unhas disejumlah media sampai saat ini hanyalah suatu bentuk upaya pencitraan dan penggiringan opini publik belaka.” papar James.
Selain melakukan upaya pencitraan, sejumlah janji yang pernah diumbar pihak Unhas dibeberapa media, kenyataannya hingga detik ini tidak pernah terealisasi. Salah satunya hasil kerja Tim Investigasi dari Komisi Disiplin yang dibentuk khusus Unhas untuk menangani kasus kematian mahasiswanya saat mengikuti Diksar Mapala.
“Kok hingga saat ini hasil kerja Tim Investigasi dari Komisi Disiplin tidak pernah diumumkan. Lalu dengan tiba-tiba Rektor Unhas menyatakan kasus kematian Virendy sudah dinyatakan selesai dan ditutup. Termasuk janji-janji pihak Rektorat, Dekanat dan Komisi Disiplin akan menemui orang tua korban secara kelembagaan guna membahas hal yang berkaitan dengan kematian Virendy termasuk yang menjadi keinginan keluarga sebagai bentuk pertanggungjawaban Unhas, ternyata itu cuma omong kosong belaka.” tambah Anggota Dewan Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia Sulsel ini.
Mengakhiri komentarnya, James berharap agar Rektor Unhas, Prof Jamaluddin Jompa masih memiliki sifat kemanusiaan dan empati serta bijak dalam menghadapi kasus kematian Virendy anak saya. “Apakah pak Jompa sudah melihat hasil visum sehingga berani membuat kesimpulan sendiri ?
” Ya, kami sebagai keluarga hanya bisa mendo’akan semoga peristiwa dan perlakuan-perlakuan yang dialami almarhum Virendy dan keluarganya ini, kelak tidak menimpa anggota keluarga Rektor maupun petinggi-petinggi Unhas lainnya.” kunci James Wehantouw.
(M. Daeng Siudjung Nyulle)