Uwa Deden: “Ciptakan Kondusifitas, Jauhi Intoleransi Merupakan Tugas Bersama”

TOkoh250 Dilihat

Reformasiaktual.com//Bandung – Rasa bangga karena menjadi warga Indonesia sangatlah dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, namun di balik itu mereka sangat miris dan terganggu dengan sikap intoleransi dilakukan sebagian kecil oknum masyarakat yang rentan memecah belah kerukunan.

Hal itu dikatakan H. Deden Hidayat atau yang akrab disapa Uwa Deden, Jum’at (18/8/2023) usai menghadiri eringatan HUT RI ke-78. Menurutnya, Indonesia sebagai negara kesatuan sangatlah kaya akan berbagai suku, ras, agama, dan budaya.

“Berbagai perbedaan itu haruslah disyukuri sebagai keragaman yang memperkaya wawasan, dengan saling menghargai satu sama lain dan tidak saling mengganggu. Sikap saling tolong menolong sebagai sesama warga, hendaknya dilakukan tanpa membedakan suku ataupun golongan,” jelasnya.

Menurut Wa Deden, sikap intoleransi yang dilakukan sebagai kecil warga harus diantisipasi jangan sampai menjadi besar, apalagi sampai memporakporandakan tatanan bangsa Indonesia yang sudah kokoh.

Mendengar atau membaca kata “intoleransi”, lanjutnya, tentunya pikiran kita selalu terarah pada hal- hal yang negatif. Misalnya seperti dominasi, kekerasan, penggolongan, adu domba, memaksakan kehendak pada orang lain, sehingga tidak menghargai sikap perbedaan.

Dijelaskan Wa Deden, jika dilihat dari arti kata Intoleransi, yang memili arti sikap abai atau tidak peduli dengan keberadaan dan identitas orang lain yang berbeda. Intoleransi membuat seseorang tidak menghormati dan menghargai perbedaan, sehingga dapat menyulut perpecahan, sehingga dapat memicu kondisi-kondisi yang berbahaya di Indonesia.

“Berdasarkan kondisi tersebut, maka mari kita bersama-sama menertibkan Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Nasional) bersama- sama aparat berwenang, demi kehidupan anak cucu kita yang damai dan mari kita junjung tinggi perbedaan suku, ras, agama, budaya, dan keyakinan masing- masing, sehingga tercipta situasi yang kondusif di Nusantara tercinta ini,” ajaknya.

Tentang kepercayaan masing-masing, menurut wa Deden, hendaknya dilaksanakan dengan sikap amaluna amalukum (agamamu agamamu, agamaku agamaku) dengan saling menghargai agar tercipta kondusifitas kerukunan masyarakat di negri tercinta ini.

“Marilah kita mulai sikap seperti ini dengan dimulai dari diri sendiri, lalu tumbuhkan dalam keluarga kita, dan tauladankan dalam masyarakat sekitar. Tidak tunggu nanti, tapi mulailah dari sekarang,” tegasnya.

Menutup percakapan, Wa Deden menyebut, bahwa merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78, bukan kemerdekaan yang semu dengan diliputi rasa takut dan diskriminasi, tapi kemerdekaan yang penuh keceriaan dan kegembiraan.

“Kuta adalah satu, bermottokan Bhineka Tunggal Ika dan berpedoman Pancasila, satu visi satu misi, menjunjung tinggi perbedaan, dan saling menghargai satu sama lain, agar tercipta kenyamanan bermasyarakat yang guyub dan rukun,” pungkasnya.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *