Ritual Bakar Replika Kapal Tongkang di Tanjung Balai: Wujud Cinta Budaya dan Penghormatan Leluhur Tionghoa

Budaya181 Dilihat

TANJUNG BALAI | Reformasiaktual.com – Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Dewa KI HU ONG YA, masyarakat Tionghoa di Tanjung Balai menggelar ritual budaya Bakar Replika Kapal Tongkang, sebuah tradisi turun-temurun yang sarat makna sejarah dan spiritualitas.

Ritual ini merupakan bentuk pelestarian budaya leluhur yang berasal dari Bagan Siapi-api, Riau. Tradisi tersebut merefleksikan kisah para perantau Tionghoa yang tiba di Nusantara sekitar tahun 1826. Setelah menempuh pelayaran panjang dan penuh tantangan dari daratan Tiongkok, mereka akhirnya memilih menetap dan membakar kapal tongkang sebagai simbol komitmen untuk tidak kembali ke negeri asal dan memulai hidup baru di tanah yang mereka anggap sebagai rumah.

Menurut Hakim Tjoa Kian Lie, Ketua Pengurus Daerah Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia Kota Tanjung Balai, ritual ini bukan sekadar seremonial, tetapi sarat akan nilai sejarah dan spiritualitas tinggi. Ia menuturkan bahwa para leluhur dahulu melakukan perjalanan lintas negara, dari Tiongkok ke Thailand, hingga akhirnya sampai ke wilayah pesisir Indonesia, termasuk Bagan Siapi-api dan Tanjung Balai.

“Di tengah pelayaran mereka yang penuh bahaya, seperti gelombang besar dan perompak laut, para perantau Tionghoa selalu membawa serta rupang Dewa KI HU ONG YA sebagai pelindung. Cahaya yang mereka lihat dari tengah laut saat itu diyakini sebagai petunjuk ilahi. Dari situlah mereka menetap, membakar kapal sebagai tanda tidak akan kembali,” jelas Tjoa Kian Lie.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ritual ini menjadi bukti kecintaan dan penghargaan terhadap sejarah leluhur yang telah memilih Tanjung Balai sebagai tanah penghidupan. Walau Bagan Siapi-api dikenal sebagai pusat utama tradisi ini, Tanjung Balai juga memiliki akar sejarah yang kuat, mengingat dulunya termasuk dalam wilayah Kabupaten Asahan yang banyak dihuni komunitas perantau Tionghoa.

Ritual Bakar Kapal Tongkang menjadi momentum spiritual tahunan yang tidak hanya mempererat hubungan antarwarga Tionghoa, tetapi juga memperkaya khazanah budaya Indonesia yang majemuk.

“Ini adalah warisan budaya yang harus dijaga dan dikenang, bukan hanya oleh keturunan Tionghoa, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia sebagai bagian dari keberagaman bangsa,” pungkas Tjoa Kian Lie.

STH