Purwakarta – reformasiaktual.com Tradisi sakral Muru Indung Cai kembali digelar dalam rangkaian Hari Jadi ke-194 Kota Purwakarta dan ke-57 Kabupaten Purwakarta. Kegiatan ini menjadi simbol kuat bagaimana masyarakat Purwakarta menjaga kearifan lokal serta mempererat hubungan spiritual dengan alam.
Prosesi Muru Indung Cai berlangsung pada Rabu, 2 Juli 2025. Ratusan peserta, mulai dari masyarakat umum, tokoh adat, Forkopimda, hingga relawan generasi muda, mengikuti napak tilas yang dimulai dari Taman Air Mancur Sri Baduga, Situ Buleud, menuju sumber mata air Cibulakan di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa.
Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein, menekankan makna mendalam dari tradisi ini. “Tanpa kita, air tetap mengalir. Tapi tanpa air, kita tidak bisa hidup,” ujar Om Zein. Ia mengingatkan bahwa sumber air seperti Cibulakan bukan sekadar titik geografis, melainkan pusat kehidupan bagi sawah, kebun, dan masyarakat sekitarnya.
Menurut Om Zein, Muru Indung Cai juga menjadi ajakan untuk menjaga ekosistem dan menanamkan kembali nilai-nilai lokal seperti silih asih, silih asah, dan silih asuh. “Hari Jadi Purwakarta bukan hanya seremonial tahunan, tapi momentum membangun masa depan yang berakar pada budaya dan kesadaran ekologis,” tegasnya.
Apresiasi terhadap kegiatan ini juga datang dari Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Purwakarta, Denden Pranayudha. Ia menilai, Muru Indung Cai bukan sekadar seremoni, melainkan bentuk nyata penghormatan terhadap alam dan pelestarian nilai-nilai budaya lokal yang sarat makna spiritual dan ekologis.
“Saya sangat mengapresiasi kegiatan Muru Indung Cai ini. Ini bukan sekadar ritual, melainkan wujud nyata kearifan lokal masyarakat Purwakarta dalam menghormati alam,” ujar Denden.
Ia berharap agar tradisi ini terus diwariskan kepada generasi muda. “Tradisi seperti ini harus terus diwariskan. Ini adalah identitas budaya Purwakarta yang membedakan kita dari daerah lain,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Relawan Bupati Aing (RBA), Dani Regiana, yang juga turut serta dalam kegiatan ini menyatakan bahwa keterlibatan generasi muda sangat penting untuk menjaga kelangsungan tradisi. “Kami hadir bukan hanya sebagai peserta, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai budaya. Tradisi ini mengajarkan kita untuk menghormati alam dan mengenang asal-usul kehidupan masyarakat Purwakarta,” ucapnya.
Ia menekankan bahwa Muru Indung Cai bukan sekadar ritual simbolik, tapi bentuk konkret kesadaran ekologis. “Saya mengajak seluruh masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga tradisi serta kelestarian lingkungan demi masa depan Purwakarta yang lebih baik,” tutup Dani.
Melalui Muru Indung Cai, masyarakat Purwakarta diingatkan kembali akan pentingnya hidup selaras dengan alam dan budaya. Di tengah tantangan modernitas dan perubahan iklim, tradisi ini menjadi penanda arah: kembali ke akar, menjaga yang
memberi hidup. ( RN )