Berlomba “Cuci Tangan” di TNTN

Lembaga297 Dilihat

Oleh: Rahmad Panggabean
Ketua LSM Gerakan Anti Korupsi dan Penyelamatan Aset Negara (Gampang) Prov. Riau

Pekanbaru, Riau – Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) kembali menjadi sorotan. Tak hanya sebagai habitat satwa langka, kini kawasan ini juga menjadi tumpuan hidup ribuan manusia. Ironisnya, penegakan hukum baru terasa gaungnya setelah sebagian besar kawasan rusak dan berubah fungsi.

Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan telah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). TNTN di Kabupaten Pelalawan termasuk dalam wilayah prioritas. Namun, kita patut bertanya: mengapa baru sekarang ada tindakan tegas, padahal larangan pengalihfungsian kawasan hutan sudah sejak lama ada, baik dari pusat maupun daerah?

Kini, TNTN menyusut drastis dari 81.793 hektare menjadi hanya 12.361 hektare. Siapa yang bertanggung jawab? Ribuan masyarakat yang telah lama mendiami kawasan itu? Ataukah lembaga pemerintah yang seharusnya mengawasi dan mencegah perambahan?

Pernyataan pihak Balai TNTN yang menyebutkan bahwa mereka telah bekerja maksimal dan bahkan mengalami intimidasi dalam melaksanakan tugas, terasa tidak masuk akal. Bukankah mereka digaji negara untuk menjaga kawasan? Bila ada kekerasan terhadap petugas, tentu dapat dilaporkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Tetapi yang terjadi justru pembiaran hingga kerusakan menjadi nyaris tak terkendali.

Tak hanya Balai TNTN, instansi lain pun seakan berlomba cuci tangan. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pelalawan mengklaim tak pernah mengeluarkan dokumen kependudukan bagi warga di kawasan tersebut. Namun faktanya, ribuan warga yang disebut “ilegal” itu ikut serta sebagai pemilih dalam Pemilu. Jika mereka ilegal, bagaimana mungkin masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)? Bila ditelusuri, hasil Pemilu dari kawasan ini pun bisa dipersoalkan—bisa jadi mengubah komposisi jabatan publik yang ada saat ini.

Begitu pula Dinas Pendidikan. Apakah juga akan menyangkal adanya sekolah negeri di kawasan TNTN? Kita tunggu saja manuver berikutnya.

Satgas PKH tidak bisa hanya fokus pada relokasi. Persoalan sosial, ekonomi, hingga psikologis ribuan warga harus diperhitungkan secara matang. Relokasi bukan sekadar memindahkan orang, tetapi menyangkut kelangsungan hidup mereka. Apalagi banyak dari mereka menggantungkan hidup dari kebun kelapa sawit yang sudah lama ada.

Yang menyakitkan, selama ini masyarakat kecil yang disalahkan, sementara pihak yang menjual lahan, oknum pejabat yang mengeluarkan SKT atau dokumen kependudukan, tak tersentuh. Kejaksaan Agung bahkan menyebut adanya indikasi korupsi dan pungli oleh aparat desa. Pertanyaannya, apakah mereka bekerja sendiri? Atau ada keterlibatan lebih luas yang selama ini dibiarkan?

Sejak lama para aktivis dan pemerhati lingkungan telah bersuara soal perusakan TNTN. Tapi pemerintah seperti menutup telinga. Laporan dari LSM pun kerap diabaikan. Mengapa pemerintah baru bertindak setelah ribuan masyarakat menetap dan merambah kawasan?

Fakta sejarah juga penting untuk diketahui. Menurut beberapa sumber, termasuk Universitas Leiden, pada 1950-an Tesso Nilo adalah hutan alami. Namun, antara 1960 hingga 1970 statusnya berubah menjadi Hutan Produksi. Ini memungkinkan pemerintah mengeluarkan izin HPH kepada perusahaan. Tahun 1974, Menteri Pertanian memberikan izin pengelolaan kepada PT Dwi Marta seluas 120.000 hektare. Bahkan pada 1995, izin HPH diberikan kepada BUMN Inhutani IV.

Dengan kata lain, kawasan ini tak sepenuhnya merupakan hutan konservasi sejak awal. Transformasi legal inilah yang menjadi celah awal perubahan fungsi kawasan.

Kini, setelah semua rusak, semua pihak berlomba “cuci tangan”. Tapi sejarah dan data tak bisa dibohongi. Kalau memang serius menyelamatkan hutan dan menegakkan hukum, seharusnya bukan hanya rakyat kecil yang dikejar. Pejabat dan pengusaha yang jadi aktor awal kerusakan hutan juga harus dimintai pertanggungjawaban.


Catatan Redaksi: Opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Sabtu, 21 Juni 2025